Selamat Mengunjungi Blog Anjung Rasulullah & Selawat dan Salam Buat Rasulullah

Iklan Anda

Monday 11 April 2011

Mimpi Bertemu Rasulullah SAW

Bermimpi bertemu Rasulullah saw seharusnya menjadi keutamaan dan matlamat setiap umat Islam. Ini kerana bermimpikan insan yang paling mulia dan penuh keberkatan diseluruh penjuru alam. Dengan kecintaan dan kemasyhuran insan mulia yang dipanggil Rasulullah saw atau persuruh Allah inilah alam ini dijadikan. Sesungguhnya setiap insan didunia yang fana' ini bercita-cita untuk bertemu Rasulullah saw di dalam mimpinya. Tiada lagi makhluk yang lebih mulia selain dari Rasulullah saw  di alam ini. Justeru itu, saya al faqir yang hina ini menyeru kepada semua insan berusaha untuk mendapatkan anugerah tertinggi ini. Tiada yang selebih tinggi keinginannya dan amalannya dengan dihadiahkan bertemu dengan makhluk yang sangat-sangat mulia ini sehingga Allah SWT serta para malaikat dan seluruh makhluk di alam dunia dan akhirat berselawat kepada baginda junjungan Rasulullah SAw Muhammad ibn Abdillah.

Dengan itu sabda Rasulullah saw : “Berilah nama-nama kalian dengan namaku, dan jangan memakai gelar seperti gelarku, dan barangsiapa bermimpikan aku dalam tidurnya sungguh ia telah melihat aku, maka sungguh syaitan tidak mampu menyerupai diriku, dan barangsiapa yg berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaknya ia bersiap akan tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari) 
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ الْجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ هَدَاناَ بِعَبْدِهِ الْمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ ناَدَانَا لَبَّيْكَ ياَ مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلّمَّ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَالْحَمْدُلله الَّذِي جَمَعَنَا فِيْ هَذِهِ الْمُنَاسَبَةِ الْمُبَارَكَةِ…

Limpahan puji kehadirat Allah Yang Maha Luhur, Yang Maha melimpahkan kebahagiaan sepanjang waktu dan zaman, sebelum zaman dicipta hingga zaman dicipta dan kemudian sirna, setiap generasi terlahir dan wafat kesemuanya di dalam pengaturan Sang Maha Tunggal dan Maha Abadi, samudera segenap ketentuan dan segala kejadian yang lalu dan yang akan datang berada dalam samudera kelembutan-Nya, di dalam samudera kasih sayang-Nya. Sungguh Allah subhanahu wata’ala sangat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, seandainya Dia tidak berkasih sayang dan mau menghukum hamba-Nya sebab kesalahan-kesalahan mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ ( النحل : 61 ) 

” Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya” ( QS. An Nahl: 61)

Maka jika Allah mau menghukum manusia karena kesalahan yang mereka lakukan, maka mereka tiadalah akan tersisa lagi di muka bumi ini, namun Allah menunda setiap nafas, setiap detik, dan hari demi hari (agar kita bertobat) hingga waktu yang telah Allah tentukan, yaitu sakaratul maut. Allah bersabar menanti kita, Allah bersabar untuk menunda siksa-Nya, dan tidak mau menghukum kita, Allah siap melimpahkan kemuliaan hingga sepuluh kali lebih besar dari kebaikan yang kita perbuat, bahkan hingga 70 kali lipat. 


Allah subhanahu wata’ala menuliskan satu perbuatan dosa hanya dengan balasan satu dosa, namun perbuatan baik Allah akan melipatgandakan balasannya dengan 10 kali pahala hingga 700 kali lebih besar, demikian dalam riwayat Shahih Al Bukhari, bahkan dalam riwayat Shahih Muslim bahwa setiap kebaikan akan dilipatgandakan balasannya 10 kali lebih besar hingga 700 kali dan lebih dengan kehendak Allah, berarti cinta kita kepada Allah dibanding dengan cinta Allah kepada kita 10 kali lebih besar cinta Allah kepada kita, bahkan 700 kali lebih besar dari cinta kita kepada Allah. Sekali kita beribadah dan berbakti kepada Allah maka sepuluh kali Allah subhanahu wata’ala berbakti kepada kita, maksudnya Allah berbakti kepada kita adalah mengganjar dan membalas dengan kebaikan, menyambut dengan kehangatan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab Taujih An Nabiih Limardhaati Baariih karangan guru mulia kita Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam hadits qudsi:

“Wahai Daud : Seandainya orang-orang yg berpaling dari-Ku mengetahui kerinduan-Ku atas kembalinya mereka, dan cinta-Ku akan taubatnya mereka, dan besarnya sambutanku atas kembalinya mereka pada keridhoan Ku, niscaya mereka akan terbang karena rindunya mereka kepada-Ku. Wahai Daud, demikianlah cinta-Ku kepada orang-orang yg berpaling dari Ku (jika mereka ingin kembali), maka bagaimanakah cinta-Ku kepada orang-orang yg datang (mencintai dan menjawab cinta Allah ) kepada-Ku?”

Apabila mereka yang terus berdosa dan berbuat salah memahami betapa rindunya Allah kepada mereka apabila mereka mau kembali kepada kasih sayang dan keridhaan Allah, mau kembali kepada jalan keluhuran dan meninggalkan kehinaan untuk mendekat kepada Allah, jika mereka mengetahui betapa besarnya rindu Allah kepada mereka, betapa besarnya cinta Allah kepada taubat mereka dan betapa hangatnya sambutan Allah untuk mereka yang mau kembali kepada-Nya, jika mereka mengetahui hal itu sungguh mereka akan wafat di saat itu juga untuk menuju kepada Allah karena tidak mampu menahan rindu kepada Allah, karena Allah telah merindukannya, karena Allah telah mencintainya, maka mereka akan meninggalkan segenap dosa dan tenggelam dalam taubat dan kerinduan kepada Allah. Kita tidak mengetahuinya, namun paling tidak ada sedikit kefahaman di dalam jiwa dan sanubari bahwa ada Sang Maha Abadi Yang menanti kita dengan kebahagiaan yang kekal, Yang menyiapkan cinta, rindu dan sambutan hangat-Nya untuk mereka yang mau membenahi dirinya, maka berusahalah dan Allah tidak memaksa lebih dari kemampuan kita.

Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah

Sebagaimana yang telah disampaikan oleh guru kita yang kita cintai, As Syaikh Amr Khalid tentang cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sampailah kita pada hadits agung ini:
  
سَمُّوا بِاسْمِى وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِي

” Berilah nama dengan namaku dan janganlah memakai kun-yahku “

مَنْ رَآنِيْ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِيْ

Maksudnya dengan nama beliau nabi “Muhammad” shallallahu ‘alaihi wasallam, oleh sebab itu jika saya dimintai untuk memberikan nama maka pasti saya beri nama “Muhammad…..”, dan ada kelanjutannya, saya tidak pernah memberi nama dengan nama yang lain, walaupun nama nabi banyak namun sungguh nama yang terbaik adalah “Muhammad” shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga banggalah kelak mereka yang ketika dipanggil kehadapan Allah membawa nama nabi “Muhammad”. 


Namun perintah memberikan nama dengan nama nabi bukanlah perintah wajib melainkan sunnah menggunakan nama nabi “Muhammad”, dan Rasulullah melarang untuk memakai gelar beliau. Para Ulama berbeda pendapat dalam hal kun-yah (gelar) ini, sebagian mengatakan “Abu Al Qasim” dan larangan itu hanya ketika di masa hidupnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun gelar beliau yang tidak boleh digunakan hingga akhir zaman adalah gelar “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”, karena gelar ini hanya untuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul, maka tidak boleh kita gunakan, namun gelar “Abu Al Qasim” atau yang lainnya boleh digunakan tetapi setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa? karena pernah terjadi dimana seseorang di zaman Rasulullah memberi nama anaknya Qasim, maka si ayah dipanggil dengan sebutan “Abu Al Qasim” dan Rasulullah pun menoleh maka ketika itu Rasulullah melarang menggunakan gelar itu di masa hidup nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun di zaman sekarang tidak ada larangan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa melihatku di waktu tidur maka dia benar benar telah melihatku, karena syeitan tidak dapat menyerupaiku”

Sungguh syaitan tidak akan bisa menyerupai bentuk Rasulullah, betapa indahnya wajah yang tidak mampu diserupai oleh syaitan, nabi kita sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Syaitan mampu berpura-pura menjadi guru, menjadi murid dan yang lainnya namun syaitan tidak bisa menyerupai wajah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak pertanyaan yang muncul kepada saya tentang hal ini, “Habib, saya bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi wajahnya berupa wajah habib fulan atau kiyai fulan, apakah itu mimpi Rasulullah?”, iya itu adalah mimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selama orang yang kita lihat itu adalah wajah orang yang shalih. 


Namun dijelaskan oleh beberapa habaib kita di Tarim Hadramaut, bahwa tidak ada seseorang dari kaum shalihin yang diserupai wajahnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali dia adalah wali Allah subhanahu wata’ala (orang yang dicintai Allah). “Habib, ada yang mimpi Rasulullah tetapi wajahnya kok gelap dan tidak bagus bentuknya, pincang atau cacat?!”, apakah itu juga mimpi Rasulullah?, hal itu adalah cermin dari diri kurang baiknya hati kita, karena hati kita adalah cermin, jika sebuah cermin terdapat banyak noda maka hasil dari cermin itu juga banyak noda, jadi apabila kita bermimpi Rasulullah dalam keadaan cacat maka yang cacat adalah hati kita, bukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 


Dan hal itu merupakan teguran dari Allah subhanahu wata’ala untuk mengingatkan kita. Diriwayatkan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani Ar di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari bahwa orang yang bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melihat wajah asli beliau, namun hal ini tergantung derajat orang tersebut, para kekasih Allah dan para shalihin, mereka akan melihat wajah asli rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam mimpinya. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani bahwa salah satu istri Rasulullah menyimpan sebuah cermin yang pernah ia gunakan, kemudian dipinjam oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau bercermin dengan cermin itu, setelah cermin itu dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka cermin itu menampakkan wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu jelas, cermin itu tidak mau lagi memunculkan atau mencerminkan wajah yang lain setelah digunakan bercermin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 


Dan jika istri Rasulullah ini rindu dengan Rasulullah setelah beliau wafat, maka ia melihat cermin itu dan ia lihatlah wajah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena cermin itu tidak mau lagi menampakkan wajah yang lain. Maka para tabi’in yang ingin melihat wajah Rasulullah mereka datang kepada istri Rasulullah dan melihat cermin itu sehingga mereka melihat wajah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Subhanallah, sebuah cermin pun tidak bisa lagi menjadi sebagai cermin setelah melihat wajah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dijelaskan di dalam buku “Muhammad Insan Al Kamil” oleh Al allamah Al Musnid Al Habib Muhammad bin ‘Alawy Al Maliki tentang perbedaan wajah nabiyullah Yusuf As dengan wajah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana dahulu di masa nabi Yusuf para wanita memotong jari-jarinya karena indahnya wajah nabi Yusuf As, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ ( يوسف: 31 )

“Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya , mereka terpesona kepada (keelokan rupanya) dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri, seraya berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia, sungguh ini adalah malaikat yang sempurna” (QS. Yusuf : 31 )

Maka berkatalah As Syaikh Muhammad bin ‘Alawy Al Maliki Ar menukil salah satu riwayat sahabat bahwa Allah tidak menampakkan keindahan wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara keseluruhan di muka bumi, hanya 1 keindahan dari 10 bagian yang diperlihatkan, jika seandainya yang 9 bagian itu ditampakkan juga maka orang-orang akan mengiris hatinya tanpa terasa karena indahnya wajah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan itu kelak akan diperlihatkan di telaga Haudh. Semoga aku dan kalian memandang wajah yang indah itu, amin.

Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah

Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa sayyidina Anas bin Malik Ra berkata:

مَا نَظَرْناَ مَنْظَرًا كاَنَ أَعْجَبَ إِلَيْنَا مِنْ وَجْهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Kami belum pernah melihat pemandangan yang lebih menakjubkan dari wajah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang banyak sekali dan sangat mudah dan suka mendoakan orang lain, dan beliau adalah makhluk yang paling indah, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa salah seorang sahabat Ra berkata: “aku belum pernah mendengar suara yang lebih indah dari suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga suara beliau membuat hati luluh dan ingin mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala”. Dan Allah berfirman dalam Al qur’an menyifati indahnya bacaan sang nabi :

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآَنًا عَجَبًا ، يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآَمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا ( الجن : 1-2 )

“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Rabb kami” ( QS. Al Jin: 1-2)

Dan Allah berfirman:

وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا ( الجن : 
19 )

“Dan ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya” ( QS. Al Jin: 19 )

Dijelaskan di dalam Shahih Muslim, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan membaca al qur’an dan di saat itu iblis melihat pintu-pintu langit ditutup dan tidak bisa lagi ditembus oleh iblis dan syaitan, maka di saat itu iblis berkata : “apa yang telah terjadi di barat dan timur sehingga kita tidak bisa lagi menembus langit?!”, maka ketika mereka mencari di penjuru barat dan timur, mereka pun menemukan cahaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang berdoa dan membaca al quran al karim, dan cahaya itu membuat para jin berdesakan untuk mendengarkan bacaan itu kemudian mereka beriman. Dan dijelaskan di dalam Kitab-kitab Tafsir, tafsir Ibn Katsir dan lainnya bahwa di saat itu ada beberapa raja jin yang diperintahkan oleh iblis untuk melihat apa yang terjadi, justru mereka beriman kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Para jin itu pun berdesakan ingin mendengarkan suara indah yang keluar dari jiwa yang suci dan khusyu’ yang merindukan Allah subhanahu wata’ala, jiwa yang dipenuhi dengan getaran iman. 


Oleh sebab itu, ketika salah seorang sahabat Ra (dalam riawayat yang tsiqah) melihat aurat seorang wanita dengan sengaja, maka ia merasa telah berbuat dosa yang sangat besar dan ia pun menyendiri ke atas gunung dan tidak mau lagi melihat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena dia merasa tidaklah pantas matanya melihat wajah beliau karena mata itu telah berbuat zina. Dan setelah beberapa hari Rasulullah menanyakan orang itu karena beberapa hari Rasulullah tidak melihatnya, maka sayyidina Abu Bakr As Shiddiq Ra mendatanginya ke gunung dan berkata kepada orang itu: “engkau dipanggil oleh Rasulullah”, orang itu menjawab: “aku tidak mau melihat wajah Rasulullah, mataku tidak lagi pantas memandang beliau karena telah berbuat dosa”, maka sayyidina Abu Bakr berkata: “ini adalah perintah Rasulullah”, maka ia pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu Rasulullah sedang melakukan shalat maghrib, dan ketika ia mendengar bacaan Rasulullah dari kejauhan, ia pun terjatuh dan roboh karena tidak mampu mendengarkan lantunan suara indah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia diberdirikan oleh sayyidina Abu Bakr As Shiddiq dan dibimbing untuk terus masuk ke shaf shalat dan setelah selesai shalat, ketika orang-orang mulai berdiri dan keluar dari shaf shalat, ia hanya tertunduk saja, 


Maka Rasulullah memanggilnya dan berkata :”kemarilah mendekat kepadaku”, ia mendekat hingga lututnya bersatu dengan lutut nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam namun ia tetap menundukkan kepalanya dan berkata: “wahai Rasulullah, aku tidak mau lagi melihat wajahmu karena mataku sudah banyak berbuat dosa”, maka Rasulullah berkata :”mohonlah ampunan kepada Allah”, maka ia berkata: “aku meyakini bahwa Allah Maha Pengampun, namun mata yang sudah banyak berbuat dosa ini tidak lagi pantas melihat wajahmu wahai Rasulullah”, ia masih terus menundukkkan kepalanya maka rsaulullah berkata : “angkatlah kepalamu!!”, maka ia pun mengangkat kepalanya perlahan lahan dan beradu pandang denga Rasulullah, lalu ia kembali menundukkan kepalanya dan menangis di pangkuan Rasulullah kemudian wafat dipangkuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka para sahabat pun kaget dan iri dengan orang itu karena walaupun mereka berjihad siang dan malam namun mereka tidak sempat mendapatkan kesempatan untuk wafat dipangkuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ketika itu air mata Rasulullah mengalir dan jatuh di atas wajah orang itu. Hadirin hadirat, sungguh mata kita penuh dengan dosa dan kesalahan, namun Sang Maha Pengampun tidak berhenti mengampuni, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ada 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah dimana ketika itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah, diatara 7 kelompok itu adalah :

رَجُلٌ ذَكَرَ اللهُ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

” Seseorang yang ketika berdzikir (mengingat Allah) maka mengalirlah air matanya”

Maka orang itu akan mendapatkan naungan Allah kelak di hari kiamat. Dan saat di surga kelak masih ada orang-orang yang belum melihat keindahan dzat Allah subhanahu wata’ala, mereka adalah orang-orang yang ketika di dunia mata mereka banyak berbuat dosa, dan malaikat tidak mau membuka tabir yang menghalangi dzat Allah dengan mereka, maka Allah berkata kepada malaikat: 
“mengapa kalian masih menutupkan tabir untuk mereka, mereka adalah penduduk surga yang telah kuampuni dosa-dosa mereka”, maka malaikat berkata: “wahai Allah, dahulu ketika mereka di dunia mata mereka banyak melakukan dosa, maka mereka tidak pantas memandang keindahan dzat-Mu”, maka Allah subhanahu wata’ala berfirman: “angkatlah tabir yang menghalangi-Ku dengan mereka, karena dahulu mata mereka pernah mengalirkan air mata rindu ingin berjumpa dengan-Ku”…

فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا …

Ucapkanlah bersama-sama

يَا الله…يَا الله… ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم …لاَإلهَ إلَّاالله…لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ…لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ…لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ… مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ

Amalan Berkabung 40 Hari Bercanggah Ajaran Islam

KUALA LUMPUR, 11 April – Wartawan Syed Mu'az Bin syed Putra melaporkan bekas mufti Perlis Prof Madya Dr Mohd Asri Zainul Abidin berkata amalan berkabung selama 40 hari sempena kematian pemimpin negara atau kerabat diraja yang diamalkan selama ini bercanggah dengan ajaran Islam.
Kata Mohd Asri, dalam ajaran Islam yang diwajibkan berkabung hanyalah isteri kematian suami iaitu selama empat bulan 10 hari dan bukan berkabung secara “berlebihan” sempena kematian pemimpin negara atau kerabat diraja.
“Perkara ini perlu diingatkan, ia (berkabung) bukan sahaja berlaku di Malaysia, tetapi banyak negara lain yang ‘berlebihan’ dalam memuja pemimpin-pemimpin mereka.
“Amalan berkabung selama 40 hari dengan pelbagai pantang larang atau pakaian tertentu sempena kematian pemimpin negara atau kerabat diraja adalah bercanggah dengan ajaran Islam,” katanya dalam satu kenyataan hari ini.
Dengan merujuk al-Quran dan Sunah, Asri berkata amalan berkabung selama 40 hari itu juga bercanggah dengan arahan Rasulullah s.a.w.
“Dalam ajaran Islam, yang diwajibkan berkabung hanyalah isteri kematian suami iaitu selama empat bulan 10 hari, ini telah ditegaskan oleh al-Quran dan al-Sunah.
“Dalam Surah al-Baqarah ayat 234: (maksudnya) “Dan mereka yang meninggal dunia antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah mereka menangguh (menunggu idah) selama empat bulan, sepuluh hari,” kata pensyarah Universiti Sains Malaysia ini.
“Dalam hadis Nabi s.a.w bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya iaitu empat bulan sepuluh hari’ (Riwayat al-Bukhari dan Muslim),” kata tokoh agama berpendirian progresif ini.
Tegas beliau, umat Islam tidak berkabung atas kematian seseorang termasuk pemimpin atau kerabat diraja.
Justeru Asri menegaskan, amalan berkabung sempena kematian pemimpin negara atau kerabat diraja bukan dari ajaran Islam.
“Maka amalan berkabung sempena kematian pemimpin atau kerabat istana bukanlah dari ajaran Islam, bahkan menyanggahi apa yang ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w.
“Mereka yang meninggal pada hari ini tidak lebih mulia dari insan-insan soleh bermula Rasulullah s.a.w dan selepas baginda. Jika kematian mereka pun umat tidak berkabung kerana mematuhi arahan Rasulullah s.a.w, apakah kita merasai pemimpin dan kerabat diraja yang meninggal pada zaman ini lebih mulia dari mereka? Sama sekali tidak. Kepada Allah kembali segala urusan,” katanya.
Amalan berkabung biasanya dipatuhi apabila berlaku kematian raja dan sultan ataupun anggota kerabat terdekat.

Wednesday 16 March 2011

Anjung Rasulullah SAW : Permata Hatiku

Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam (Arab: نبي محمد صلى الله عليه وسلم‎) adalah pesuruh Allah yang terakhir. Baginda adalah pembawa rahmat untuk seluruh alam dan merupakan Rasulullah bagi seluruh umat di dunia. Sesungguhnya Nabi Muhammad merupakan satu anugerah dan kurniaan Allah SWT kepada umat manusia untuk menunjukkan jalan yang lurus dan benar. 
Baginda bukan sahaja diangkat sebagai seorang rasul tetapi juga sebagai khalifah, yang mengetuai angkatan tentera Islam, membawa perubahan kepada umat manusia, mengajarkan insan tentang erti persaudaraan, akhlak dan erti kehidupan yang segalanya hanya kerana Allah SWT. Nabi Muhammad dilahirkan di Makkah, Arab Saudi dan kembali ke rahmatullah di Madinah. Walaupun diketahui bahawa Muhammad merupakan Rasul dan Nabi terakhir bagi umat manusia dan seluruh alam oleh orang Islam, tetapi orang-orang Yahudi dan Kristian enggan mengiktiraf Muhammad sebagai Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad merupakan pelengkap ajaran Islam setelah Nabi Musa dan Nabi Isa.

Surah Al-Anbiya, ayat 107 bermaksud:
Surah Al-Anbiya, ayat 107
"Dan tidak kami (Allah) utuskan kamu (wahai Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam."

Kelahiran

Nabi Muhammad telah diputerakan di Makkah, pada hari Isnin, 12 Rabiulawal (20 April 571M). Ibu baginda, iaitu Aminah binti Wahb, adalah anak perempuan kepada Wahb bin Abdul Manaf dari keluarga Zahrah. Ayahnya, Abdullah, ialah anak kepada Abdul Muthalib. Keturunannya bersusur galur dari Nabi Ismail, anak kepada Nabi Ibrahim kira-kira dalam keturunan keempat puluh.
Ayahnya telah meninggal sebelum kelahiran baginda. Sementara ibunya meninggal ketika baginda berusia kira-kira enam tahun, menjadikannya seorang anak yatim. Menurut tradisi keluarga atasan Mekah, baginda telah dipelihara oleh seorang ibu angkat(ibu susu:-wanita yang menyusukan baginda) yang bernama Halimahtus Sa'adiah di kampung halamannya di pergunungan selama beberapa tahun. Dalam tahun-tahun itu, baginda telah dibawa ke Makkah untuk mengunjungi ibunya. Setelah ibunya meninggal, baginda dijaga oleh datuknya, Abdul Muthalib. Apabila datuknya meninggal, baginda dijaga oleh bapa saudaranya, Abu Talib. Ketika inilah baginda sering kali membantu mengembala kambing-kambing bapa saudaranya di sekitar Mekah dan kerap menemani bapa saudaranya dalam urusan perdagangan ke Syam (Syria).
Sejak kecil, baginda tidak pernah menyembah berhala dan tidak pernah terlibat dengan kehidupan sosial arab jahiliyyah yang merosakkan dan penuh kekufuran. Ketika berusia kira-kira 25 tahun, ayah saudara baginda menyarankan baginda untuk bekerja dengan kafilah (rombongan perniagaan) yang dimiliki oleh seorang janda yang bernama Khadijah. Baginda diterima bekerja dan bertanggungjawab terhadap pelayaran ke Syam (Syria). Baginda mengelolakan urusniaga itu dengan penuh bijaksana dan pulang dengan keuntungan luar biasa.
Khadijah begitu tertarik dengan kejujuran dan watak peribadinya yang mendorong beliau untuk menawarkan diri untuk mengahwini baginda. Baginda menerima lamarannya dan perkahwinan mereka adalah bahagia. Mereka dikurniakan 6 orang anak (2 lelaki dan 4 perempuan) tetapi kedua-dua anak lelaki mereka, Qasim dan Abdullah meninggal semasa kecil. Manakala anak perempuan baginda ialah Ruqayyah, Zainab, Ummu Kalsum dan Fatimah az-Zahra. Khadijah merupakan satu-satunya isterinya sehinggalah Khadijah meninggal pada usia 51 tahun. Seorang lagi anak baginda adalah hasil perkahwinan baginda dengan Mariah Al-Qibtiyyah. Putera baginda bersama Mariah bernama Ibrahim itu juga meninggal semasa kecil.


Bapa dan ibu saudara Nabi Muhammad
  • Al-Harith bin Abdul Muthalib
  • Muqawwam bin Abdul Muthalib
  • Zubair bin Abdul Muthalib
  • Hamzah bin Abdul Muthalib
  • Al-Abbas bin Abdul Muthalib
  • Abu Thalib bin Abdul Muthalib
  • Abu Lahab bin Abdul Muthalib
  • Abdul Kaabah bin Abdul Muthalib
  • Hijl bin Abdul Muthalib
  • Dzirar bin Abdul Muthalib
  • Ghaidaq bin Abdul Muthalib
  • Safiyah binti Abdul Muthalib
  • 'Atikah binti Abdul Muthalib
  • Arwa binti Abdul Muthalib
  • Umaimah binti Abdul Muthalib
  • Barrah binti Abdul Muthalib
  • Ummi Hakim al-Bidha binti Abdul Muthalib                                                                                             
Kerasulan Muhammad Bin Abdullah 

Muhammad telah dilahirkan di tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Ia sungguh menyedihkan hatinya sehingga beliau kerapkali ke Gua Hira, sebuah gua bukit dekat Makkah, yang kemudian dikenali sebgai Jabal An Nur untuk memikirkan cara untuk mengatasi gejala yang dihadapi masyarakatnya. Di sinilah baginda sering berfikir dengan mendalam, memohon kepada Allah supaya memusnahkan kedurjanaan yang kian berleluasa.
Di suatu malam, ketika baginda sedang bertafakur di Gua Hira, Malaikat Jibril
mendatangi Muhammad. Jibril membangkitkannya dan menyampaikan wahyu Allah di telinganya. Baginda diminta membaca. Baginda menjawab, "Saya tidak tahu membaca". Jibril mengulangi tiga kali meminta Muhammad untuk membaca tetapi jawapan baginda tetap sama. Akhirnya, Jibril berkata:



"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Amat Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

 
Ini merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Muhammad. Ketika itu baginda berusia 40 tahun. Wahyu itu turun kepada baginda dari semasa ke semasa dalam jangka masa 23 tahun. Siri wahyu ini telah diturunkan menurut panduan yang diberikan Rasulullah dan dikumpulkan dalam buku bernama Al Mushaf yang juga dinamakan Al-Quran (bacaan). Kebanyakkan ayat-ayatnya mempunyai erti yang jelas. Sebahagiannya diterjemah dan dihubungkan dengan ayat-ayat yang lain. Sebahagiannya pula diterjemah oleh Rasulullah sendiri melalui percakapannya, tindakan dan persetujuan yang terkenal, dengan nama Sunnah. Al-Quran dan al Sunnah digabungkan bersama untuk menjadi panduan dan cara hidup mereka yang menyerahkan diri kepada Allah.


Hijrah
Di Makkah terdapat Kaabah yang telah dibina oleh Nabi Ibrahim a.s. beberapa abad lalu sebagai pusat penyatuan umat untuk beribadat kepada Allah. Sebelumnya ia dijadikan oleh masyarakat jahiliyah sebagai tempat sembahyang selain dari Allah. Mereka datang dari berbagai daerah Arab, mewakili berbagai suku ternama. Ziarah ke Kaabah dijadikan mereka sebagai sebuah pesta tahunan. Orang ramai bertemu dan berhibur dengan kegiatan-kegiatan tradisi Yathrib. Mereka menemui Rasulullah dan beberapa orang Islam dari Mekah di desa bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam, mereka bersumpah untuk melindungi Islam, Rasulullah dan orang-orang Islam Mekah. mereka dalam kunjungan ini. Baginda mengambil peluang ini untuk menyebarkan Islam. Antara mereka yang tertarik dengan seruan baginda ialah sekumpulan orang dari Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yathrib datang lagi ke Makkah. Mereka menemui Rasulullah di tempat yang mereka bertemu sebelumnya. Kali ini, Abbas bin Abdul Muthalib, pakcik baginda yang belum menganut Islam hadir dalam pertemuan itu. Mereka mengundang baginda dan orang-orang Islam Mekah untuk berhijrah ke Yathrib. Mereka berjanji akan melayani mereka sebagai saudara seagama. Dialog yang memakan masa agak lama diadakan antara mayarakat Islam Yathrib dengan pakcik Rasulullah untuk memastikan mereka sesungguhnya berhasrat mengalu-alukan masyarakat Islam Mekah di bandar mereka. Rasulullah akhirnya bersetuju untuk berhijrah beramai-ramai ke bandar baru itu.
Mengetahui ramai masyarakat Islam merancang meninggalkan Makkah, masyarakat jahiliyah Mekah cuba menghalang mereka. Namun kumpulan pertama telahpun berjaya berhijrah ke Yathrib. Masyarakat jahiliyah Mekah bimbang hijrah ke Yathrib akan memberi peluang kepada orang Islam untuk mengembangkan agama mereka ke daerah-daerah yang lain.
Hampir dua bulan seluruh masyarakat Islam dari Makkah kecuali Rasulullah, Abu Bakar, Ali dan beberapa orang yang daif, telah berhijrah. Masyarakat Mekah kemudian memutuskan untuk membunuh baginda. Mereka merancang namun tidak berjaya. Dengan berbagai taktik dan rancangan yang teratur, Rasulullah akhirnya sampai dengan selamat ke Yathrib, yang kemudian dikenali sebagai, 'Bandar Rasulullah'.


Pembukaan Kota Mekah
Pembukaan Kota Mekah (bahasa Arab: فتح مكة, Fathu Makkah) bermaksud pembebasan Kota Mekah daripada pengaruh, amalan & cengkaman jahliyah. Sebelum Mekah dikuasai oleh Islam, ia berfungsi sebagai pusat penyembahan berhala dan lain-lain amalan tradisi masyarakat Arab jahiliyah.
Setelah lapan tahun berhijrah ke Madinah, Muhammad beserta 10.000 pasukan tentera Islam kembali dan menguasai Mekah secara keseluruhan, sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Kaabah pada 10 Ramadan 8 H bersamaan Januari 630 M.
Mengikut catatan sejarah, setelah Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani pada tahun keenam hijrah (628 M), Islam berkembang dengan meluas. Hal ini telah menyebabkan masyarakat Quraisy berasa iri hati. Mereka juga telah membantu Bani Bakar untuk menyerang Bani Khuzaáh yang memberikan kesetiaan kepada Rasulullah s.a.w.
Apabila Rasulullah mendapat tahu hal ini, lalu baginda bersama-sama 10,000 orang tentera Islam terus menuju ke Mekah. Dalam perjalanan, tentera Islam telah bermalam di 'Marun zahrán', Rasulullah mengarahkan tentera Islam supaya mendirikan khemah dan menyalakan obor api yang banyak untuk menggerunkan masyarakat Quraisy. Rasulullah juga telah mengutus Abbas bin Abdul Mutalib untuk berunding dengan Abu Sufyan.
Untuk memasuki kota Mekah Rasulullah memerintahkan tentera Islam supaya berpecah kepada empat kumpulan dan memasuki Mekah melalui empat penjuru. Mereka juga diminta supaya tidak melakukan kekerasan atau pembunuhan kecuali apabila terpaksa. Namun, pertempuran hanya berlaku di selatan Mekah dan telah mengorbankan dua orang tentera Islam dan tiga belas orang masyarakat Quraisy.
Setelah memasuki Mekah, Rasulullah melakukan tawaf, mencium Hajar Aswad, Kaabah. Baginda juga memasuki Kaabah dan mencuci dinding Kaabah dengan air zam-zam. Selain itu, baginda memaafkan dan membebaskan penduduk Mekah yang pernah menentang Islam. dan memusnahkan berhala yang terdapat di sekeliling.
  
Meneladani Perbuatan Rasulullah SAW
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasulullah dibagi menjadi dua macam. Ada yang termasuk perbuatan-perbuatan jibiliyah, iaitu perbuatan yang dilakukan manusia secara fitri, dan ada pula perbuatan-perbuatan selain jibiliyah. Perbuatan-perbuatan jibiliyah, seperti berdiri, duduk, makan, minum dan lain sebagainya, tidak ada perselisihan bahawa status perbuatan tersebut adalah mubah (harus), baik bagi Rasulullah maupun bagi umatnya. Oleh kerana itu, perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori mandub (sunat).
Sedangkan perbuatan-perbuatan yang bukan jibiliyah, boleh jadi termasuk dalam hal-hal yang ditetapkan khusus bagi Rasulullah, dimana tidak seorang pun diperkenankan mengikutinya (haram); atau boleh jadi tidak termasuk dalam perbuatan yang diperuntukkan khusus bagi beliau. Apabila perbuatan itu telah ditetapkan khusus bagi Rasulullah, seperti dibolehkannya beliau melanjutkan puasa pada malam hari tanpa berbuka, atau dibolehkannya menikah dengan lebih dari empat wanita, dan lain sebagainya dari kekhususan beliau; maka dalam hal ini kita tidak diperkenankan mengikutinya. Sebab, perbuatan-perbuatan tersebut telah terbukti diperuntukkan khusus bagi beliau berdasarkan Ijmak Sahabat. Oleh kerana itu tidak dibolehkan meneladani beliau dalam perbuatan-perbuatan semacam ini.
Akan halnya dengan perbuatan beliau yang kita kenal sebagai penjelas bagi kita, tidak ada perselisihan bahawa hal itu merupakan dalil. Dalam hal ini penjelasan tersebut boleh berupa perkataan, seperti sabda beliau:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَليِّ
 

“Solatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku solat”


خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
 

"Laksanakan manasik hajimu berdasarkan manasikku (apa yang telah aku kerjakan)."
Hadis ini menunjukkan bahawa perbuatan beliau merupakan penjelas, agar kita mengikutinya. Penjelasan beliau bisa juga berupa qaraain al ahwal, yakni qarinah/indikasi yang menerangkan bentuk perbuatan, seperti memotong pergelangan pencuri sebagai penjelas firman Allah SWT:

فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
 

"Maka potonglah tangan keduanya." (Surah Al-Maidah : 38).
Status penjelas yang terdapat dalam perbuatan Rasulullah, baik berupa ucapan maupun indikasi yang menerangkan bentuk perbuatan, dapat mengikuti hukum apa yang telah dijelaskan, apakah itu wajib, haram, mandub(sunat) atau mubah(harus) sesuai dengan arah penunjukan dalil.
Sedangkan perbuatan-perbuatan beliau yang tidak terdapat di dalamnya indikasi yang menunjukkan bahawa hal itu merupakan penjelas, bukan penolakan dan bukan pula ketetapan. Maka dalam hal ini perlu diperhatikan apakah di dalamnya terdapat maksud untuk bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) atau tidak. Apabila di dalamnya terdapat keinginan untuk bertaqarrub kepada Allah maka perbuatan itu termasuk mandub (sunat), di mana seseorang akan mendapatkan pahala atas perbuatannya itu dan tidak mendapatkan balasan jika meninggalkannya. Misalnya Solat Duha. Sedangkan jika tidak terdapat di dalamnya keinginan untuk bertaqarrub, maka perbuatan tersebut termasuk mubah (harus).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...